Friday, January 1, 2016

旅行 - Trip to Kawah Putih

Pada tanggal 22 Desember 2015 (tahun lalu), saya bersama teman-teman saya berniat untuk pergi ke Pangandaran. Sayangnya, kondisi disana sedang tidak kondusif. Akhirnya kami memutuskan untuk mencari alternatif lain. Meski kedengarannya lazim, tempat itu menyisakan banyak kenangan baru dan kesimpulan yang mengejutkan.


Kami berangkat sekitar pukul 7 pagi pada esok harinya (kalau tidak salah...). Perjalanan kami ke Ciwidey memakan waktu ya... sekitar 3 jam. Saya bukan orang yang... senang dengan mobil - terutama untuk perjalanan panjang. Sepanjang jalan dua teman saya bercerita tentang komik dan Arashi, saya hanya menyandarkan kepala saking pusing, mual, dll. Saya lebih suka perjalanan panjang menggunakan motor (meski motor saya adalah scooter...). Tak banyak bisa diceritakan pada perjalanan selain tidur. Sesampainya disana, kami berhenti di depan pos tiket. Paman teman saya turun untuk bertanya berapa biaya masuk dan parkir di lokasi. (Teman yang bawa pamannya kita panggil Ril. Dan untuk yang satunya lagi kita panggil Fif). Sementara saya dan satu teman lagi menunggu, seorang kakek menghampiri saya sembari memainkan biola. Lagu yang dimainkannya kalau tidak salah adalah lagu sunda Sabilulungan. Saya pun disuruh mencobanya. Hah, sayang, bunyinya soak.


Pamannya Ril kembali dengan tiket di tangan. Ketika kami bertanya berapa biaya masuknya, "250-an. 150 itu parkir di tempat dan biaya per orangnya masing-masing 18 ribu.". Kaget sih, beruntung saya bawa uang. Kata Ril jangan khawatirkan itu. Yang penting kita masuk dulu dan catat berapa biaya masuknya. Perjalanan 3 km menuju puncak tidak perlu menyalakan AC. Alam menyediakan AC alternatif yang baik. Kalau saya harus merasa, suhunya sekitar 5 derajat selsius!
Saya mengenakan jaket puma hitam favorit saya. Jaket itu cukup untuk menahan saya dari dingin. Namun, di tempat ini, ketebalan jaket saya tidak mempan. Bahkan teman saya hanya memakai kemeja saja.


Mencapai puncak, tangan bahkan kaki kami kaku untuk bisa berjalan. Entah mengapa aku tidak bisa mencium bau sulfur di tempat itu. Di sekitar gerbang masuk, ada yang menjual masker. Padahal saya yakin sebelum kita menempuh 3 km menuju puncak, penjual masker di dekat pos tiket bilang "tidak ada yang menjual masker di atas sana". Apa itu hanya sebagai cara karismatik marketing atau karena tidak ada yang menjual DI daerah kawahnya itu sendiri? Ya sih. Memang benar. Memasuki area kawah, dingin disana bukan main lagi. Saya heran dengan pengunjung lain yang tahan dengan dingin ini hanya memakai kaos oblong. KAOS.


Di area kawah, ada yang menawarkan jasa foto di tempat. Ya dan masih banyak jasa lain. Kami berfoto-foto. Sayangnya foto kita bersama ada di kamera. Saya menggunakan ponsel sumsang saya untuk memotret pemandangan saja. Tujuan kami datang kemari adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah pariwisata. Ril menyuruh saya dan Fif mewawancarai pengunjung yang ada disana. Sayangnya karena dingin yang ekstrim, kami hanya bisa blabbering bersama di antara kedinginan. Tapi, kami mendengar banyak dari perbincangan mereka. Pengunjung dari Sumatra, Jawa (paling banyak), Makassar, Jakarta, bahkan rombongan dari Malaysia pun ada. 

Sepatu saya....

Fif tak tahan dengan dingin di dalam kawah. Pada saat itu juga saya sudah mulai merasa agak pusing (karena tidak pakai masker). Kami naik kembali ke atas dan beristirahat di saung kecapi. Sambil menunggu Ril dan pamannya selesai memuaskan hobi foto, kami meneruskan perjalanan kembali turun ke pos tiket untuk menemui manager pengelola kawah tersebut.


Sesampainya kami disana, saya meminta seorang pria (yang bisa diajak wawancara) untuk interview mengenai kawah putih. Awalnya ia meminta surat pengantarnya. Sayang, saya tidak bawa. Karena surat pengantar yang sudah saya buat dan dicap oleh puket kampus adalah untuk Pangandaran. Sayangnya detail pertanyaan tidak bisa saya umbarkan karena itu klasifikasi makalah. Singkat cerita, kami menyudahi wawancara dan setelah itu merayakan turun gunung dengan makan-makan di dalam mobil.


Hari semakin tinggi. Kami memutuskan untuk turun saja ke restoran dimana ayahnya Ril bekerja. Kembali saya harus menempuh jarak jauh dengan mobil...

Sebelum kami menempuh jalan panjang, Ril meminta pamannya untuk berhenti di sebuah tempat. Inilah tempat tersebut.

Bukan untuk makan. Tapi, untuk melihat burung yang ada di kandang besar itu. Ril tertarik untuk melihat makhluk eksotis apa saja yang ada di dalam. Saya juga sempat memotret apa saja yang ada dalam dome itu. Dan... ya, burung eksotis. Burung-burung lucu. Selain burung merpati, kaka tua (aku lupa yang warna hitam dan paruh kuning itu), dan burung kecil berwarna cokelat, Anda bisa melihat
ada seekor ayam. Tidak hanya satu tentunya. Selain itu, ini kali pertamanya saya melihat kalkun secara langsung. Selama ini saya pikir kalkun hanya untuk hari thanksgiving. Ya, yang asli ternyata lebih mengagumkan dari yang ada di atas nampan. Maaf, bukan maksud menghina. Hanya sekedar sarkasme masam.


Tak banyak bisa saya ceritakan karena perjalanan ini hanya untuk memenuhi tugas. Mungkin jika saya pergi keluar dari kandang kampung halaman, saya akan bercerita kembali. Sayang sekali pada perjalanan ini saya tidak banyak memotret ini dan itu (dasar introvert).


Baiklah! Waktunya kembali ke tujuan awal blog ini. Ada kemungkinan saya akan terus update untuk update pelajaran bahasa Jepang yang saya peroleh selama belajar terus menerus. Jya, blabbering wa kore de owarimasu.

Mata neun~
Keep your feelings strong

No comments:

Post a Comment